Gen Y, Burnout, dan Pilihan Hidup.

Saya itu tipikal orang yang mudah bosan dalam banyak hal, pokoknya sulit sekali menetap dalam satu rutinitas. Apalagi kalau harus duduk manis memulai bimbingan bersama mbak Hana (pembimbing tesis), bukanya dibimbing yang ada saya malah diplintir karena topiknya selalu berubah-ubah. Lompatan idenya membuat saya sendiri takut untuk memberikan ruang lebih dalam berekspresi, yang ada nanti saya terlalu lama menunda kelulusan.
Pada kasus lain, pernah sekali waktu calon psikolog (termasuk saya) diberikan serangkaian tes psikologi (sumpah ini melelahkan; senang mengadministrasikan alat tes, bukan jadi pesertanya). Tes inteligensi sih lewat, grafis ya begitulah keadaannya, nah giliran deret angka, masyaallah rasanya ingin lempar itu kursi saking penatnya berkutat dengan angka selama perpuluh-puluh menit.
Sampai pada akhirnya, saya berkenalan dengan salah satu alat tes yang mengukur kepribadian yang dikembangkan oleh William Moulton Marston dan hasilnya menunjukkan bahwa saya tipikal dominan influence (marketing kali ya, atau trainer?). Sepertinya jalan hidup saya telah ditakdirkan di ranah pekerjaan yang berbau pelatihan, penjualan atau semacamnya. Lulus, kerja, dapat uang, foya-foya (salah ding, ingat mama tepatnya).
Lalu seperti mimpi, tiba-tiba semuanya telah berubah . Rasanya baru kemarin saya merasakan matrikulasi beberapa mata kuliah kemagisteran, sekarang seolah-olah seperti sarjana muda yang bingung, saya sibuk menerima tawaran pekerjaan dari beberapa perusahaan. Untungnya Psikolog agak dimanjakkan dalam urusan mencari-cari pekerjaan, lebih banyak dilamar daripada melamar.
Kerja, yah seperti kebayakan pemikiran orang-orang, menjalankan kewajiban rutin dan kita menerima imbal jasa. Pokoknya seperti itulah rutinitas karyawan dalam bekerja. Apa lacur, pekerjaan rutin ini lambat laun berbuah pahit. Tuntutan kerja yang semakin tinggi dan rutinitas kerja yang monoton membuat saya merasa tidak berdaya; semua beban kerja terasa berat, lelah secara fisik, mental, dan emosional. Kondisi ini identik dengan simptom burnout.
Mengacu pada gagasan yang dikemukakkan oleh kang Pines dan Maslach (1993), burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif. Beberapa literatur hasil penelitian menyatakan bahwa masalah burnout merupakan bagian dari stress (Luthans, 2005), atau karena seseorang bekerja terlalu intens tanpa memperhatikan kebutuhan pribadinya (Freudenberger, 1991). Penjelasan lainnya, silahkan teman-teman googling sendiri ya.
Kondisi ini diperumit dengan kenyataan bahwa mereka yang terlahir pada rentang tahun 1980 hingga awal 2000 adalah para generasi Y (gen Y; termasuk saya dong ya), di mana secara umum mereka adalah anak muda yang selalu ingin coba-coba, kerja tidak pernah awet di satu tempat, dan terlalu peduli soal teknologi terbaru. Al hasil, pindah kerja sudah menjadi hal yang lumrah. Pemilik perusahaan hanya bisa pasrah mendapati turn over perusahaan yang cukup signifikan, tetapi inilah kenyataannya yang sulit untuk dielakkan.
Bagi saya pribadi, mantra yang sejauh ini masih bisa mengekang keinginan saya untuk pindah kerja salah satunya berbunyi seperti ini:
“Kalo lo punya jabatan, terus lo nggak pernah nyoba buat tanggung jawab sama kerjaan lo. Coba inget lagi deh, gimana susahnya lo dapetin itu. Di luar sana banyak loh yang pengen kayak lo. Terus kenapa lo sia-siain semuanya? Lo itu beruntung!”
Semoga Tuhan memelihara saya dari rasa bosan dan memberikan petunjuk seperti apa yang saya butuhkan, bukan seperti apa yang saya inginkan. Amin.
referensi:
Luthans, F. (2005). Perilaku Organisasi edisi 10. Yogyakarta: Andi
Pines, A. & Maslach C. (1993). Characteristics of staff burnout in mental health settings. Hospital Community Psychiatry, 29, 233-237.
Freudenberger, H. J. (1991). Staff burnout. Journal of Social Issues, 30, 159-165

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

HEBOH : SULIT TIDUR