Corporate Culture
Bila Prof. Sarlito membuat essay yang ringan namun berbobot dengan judul Celana dalam konteks budaya, saya juga mencoba meringkas kembali penelitian saya tentang budaya, namun kali ini saya akan memaparkannya dalam konteks organisasi/ perusahaan.
Budaya, merupakan asumsi dasar bersama yang dipelajari dan dijalankan dengan baik serta dianggap sebagai sesuatu yang telah teruji dalam mengatasi adaptasi eksternal maupun internal oleh suatu kelompok, oleh karenanya akan terus diturunkan kepada anggota lain sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah tersebut (Schein, 2004).
Hal yang dapat kita sadari bahwa budaya itu bersifat stabil dan sulit untuk berubah karena budaya mencerminkan akumulasi pembelajaran dari sebuah kelompok (cara mereka berpikir, merasakan, dan meyakinkan dunia bahwa budaya dapat menciptakan kesuksesan suatu organisasi). Schein (2004) mengungkapkan bahwa kita akan mulai menyadari bahwa tidak ada budaya yang benar atau salah, tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk, kecuali dalam hubungannya bagaimana cara suatu organisasi bertindak dan lingkungan apa yang mendukung jalannya suatu operasi organisasi. Dengan demikian, setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Budaya organisasi memiliki beragam level mulai dari yang paling konkret dan dapat dilihat dengan mudah, hingga pada tataran yang abstrak dan kurang disadari, diantaranya;
- Level pertama adalah artifact atau artefak yang merupakan hal-hal yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan jika seseorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Bentuk dari artifak bisa dilihat dari produk yang dihasilkan, pelayanan, bentuk fisik bangunan, bahasa yang digunakan, teknologi, mitos/cerita pendirian perusahaan, dan nilai yang diketahui oleh semua karyawan.
- Level kedua adalah espoused values atau nilai-nilai yang diyakini merupakan alasan bahwa orang berkorban demi apa yang sedang ia kerjakan. Pada sebagaian besar organisasi, budaya dapat melacak budaya yang berlaku kembali kepada perumus awal budaya. Bentuk umum dari tingkatan ini adalah nilai-nilai atau keyakinan yang dianut oleh seluruh karyawan. Keyakinan ini membedakan mana yang boleh dan mana yang dilarang untuk dilakukan delam lingkup perusahaan.
- Level ketiga, yaitu underlying assumptions atau asumsi dasar. Merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota organisasi. Level ini merupakan bagian budaya yang paling sulit untuk diamati. Asumsi dasar ini meliputi keyakinan-keyakinan dasar organisasi, pemikiran dan perasaan-perasaan yang sangat sulit untuk dirubah.
Meskipun budaya bukan aset yang jelas terlihat, namun budaya mempunyai dampak yang signifikan pada kinerja ekonomi perusahaan jangka panjang. Sedangkan bagi karyawan, individu yang sesuai dengan budaya organisasi memiliki kecenderungan untuk mempunyai kepuasan kerja dan komitmen tinggi pada organisasi, dan juga memiliki intensitas tinggi untuk tetap tinggal dan bekerja pada perusahaan. Kenyataan ini membawa dampak positif bagi perusahaan karena dapat mengurangi biaya rekrutmen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai budaya secara signifikan mempengaruhi efektifitas organisasi melalui peningkatan kualitas output yang dihasilkan karyawan dan mengurangi biaya pengadaan tenaga kerja karena tingkat turnoverrendah (O'Reilly, Chatman, & Caldwell, 1999).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bagaimana budaya memiliki peranan penting bagi kemajuan organisasi. Kotter dan Heskett (dalam Mobley, Wang, & Fang, 2005) melakukan studi terhadap 207 perusahaan dalam periode 11 tahun dan menemukan bahwa perusahan yang memiliki budaya kuat mencakup pelanggan, karyawan, dan manajemen memiliki margin yang lebih besar ditunjukkan dengan peningkatan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki budaya.Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Moeljono (2003) yang menyimpulkan bahwa semakin baik kualitas faktor-faktor yang terdapat dalam budaya organisasi maka semakin baik kinerja organisasi tersebut. Penelitian lain menunjukan bahwa pengelolaan budaya organisasi yang baik memberikan motivasi positif bagi karyawan (Koesmono, 2005), kepuasan kerja hingga peningkatan kinerja para karyawan (Maharani & Yuniawan, 2008).
Hubungan budaya dengan performa organisasi menunjukan bahwa budaya yang kuat, yang ditandai dengan perwujudan nilai dan metode yang konsisten dalam menjalankan bisnis, memiliki hubungan yang positif dalam performa jangka panjang perusahaan (Kotter dan Heskett, 1992). Contoh keberhasilan perubahan budaya organisasi yang cukup radikal dapat dilihat pada perusahaan raksasa IT yaitu IBM di manaperubahan budaya organisasi yang sebelumnya berfokus pada produk berteknologi tinggi menjadi berfokus pada kebutuhan pelanggan/pasar mampu membuat IBM bangkit dari ancaman kebangkrutan pada tahun 1993.(Tjitra, Panggabean,& Murniati, 2012).
Di Indonesia, contoh keunggulan korporasi dapat dilihat pada Bank Mandiri yang merupakan hasil merger empat bank nasional (Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Expor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia) pada tahun 1999 sebagai upaya dalam menghadapi krisis ekonomi. Sebagai konsekuensinya, Bank Mandiri juga melakukan transformasi budaya dengan merumuskan kembali budaya organisasi sebagai pedoman bersama dalam berperilaku. Saat ini Bank Mandiri telah menjelma sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia (Tjitra, dkk., 2012).
Lalu bagaimana dengan perusahaan kita?
Diringkas dari jurnal penelitian yang berjudul Audit Budaya Organisasi Pada PT KG di Jakarta (Tri Yulianto & Hana Panggabean; Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia, Atma Jaya)
Essay berjudul Celana: https://www.facebook.com/sarlito.sarwono/posts/841930679177884
Komentar
Posting Komentar