Once Upon a Long Ago
Musim kemarau, musim di daerah
tropis akibat sistem muson (angin periodik disekitar samudera hindia) akan mengingatkan
saya pada masa-masa ketika hidup terasa begitu luar biasa. Saya bisa membawa
anda pada gambaran pedesaan tempat kami tinggal dulu di mana sawah-sawah pada
musim itu akan mulai mengering, retak dan mulai ditumbuhi rerumputan, seperti:
Dandang Gula, Tatah Iwak, Genjer, dan rerumputan jenis lain. Desa kami secara
geografis dikelilingi oleh hamparan sawah-sawah yang apa bila musim tanam tiba akan
nampak menghijau di sepanjang mata kita memandang. Di sisi timur, desa kami dipagari
oleh pegunungan ural yang membentang tiada berkesudahan dengan hawa yang adem.
Bila beruntung, anda akan mendapatkan bonus dengan suguhan mentari pagi yang
kemerahan dan yang akan menapaki langit dengan malu-malu. Sore harinya pun tak
kalah indahnya, cahaya mega akan menyinari sawah-sawah yang seakan menebar
pesan agar para petani segera pulang dan berkumpul bersama keluarga.
Masa kecil tentu tak serumit
seperti saat ini yang semuanya serba terkonversi dengan uang, saat itu rasanya teramat
sangat membahagiakan. Saya ingat betul bagaimana pengalaman menggembalakan
kerbau, biarpun itu bukan milik saya. Biasanya, selepas sekolah sekitar pukul 3
sore hari kami akan menunggangi kerbau dan menyusuri sawah berkilo-kilo jauhnya
demi rumput-rumput yang segar nan lezat. Di sana kami juga akan bertemu dengan
sesama penggembala kerbau dari desa tetangga yang tentu akan menambah akrab pertemanan
kami. Biasanya kami bermain bola, gobak sodor, atau mencari siput sawah. Hingga
apabila kurang beruntung, kami akan ketakutan kehilangan kerbau-kerbau kami yang
lari tak tentu arah akibat kalah beradu dengan kerbau lain. Tentu kami harus
tergopoh-gopoh untuk mengejarnya. Parahnya, tindakan lari kami bisa memicu si
kebo untuk berlari lebih kencang lagi. Pantas bila kebo disebut hewan tak
berotak, dungunya minta ampun. Menjelang sore, biasanya kami akan pulang ke
rumah masing-masing dengan satu lagi pengalaman yang mengasikkan. Kami biasanya
menjadikan kejadian sore hari itu sebagai obrolan esok hari di sekolah,
menceritakan dengan penghayatan dan menambahkan drama-drama hiperbolis agar
lebih “wah”.
Musim kemarau juga
mendatangkan peluang bagi jenis pertanian lainnya yang kita kenal sebagai
tanaman palawija, seperti semangka, ubi jalar, jagung, kedelai dan aneka
sayur-sayuran. Sekali lagi sawah-sawah kami akan mengeliat dan memutar roda
ekonomi masyarakat. Bila anda menyempatkan berkunjung pada musim ini, anda akan
diperlihatkan bagaimana suasana desa di pagi hari di mana orang-orang akan
membawa cangkul dan sabit menuju sawah untuk mengurusi tanaman mereka, dari
menyirami, memupuk, hingga menyiangi rumput-rumput liar. Bentuk olah raga yang alami,
menjadikan sebagaian dari mereka biar pun berusia lanjut tetapi masih memiliki
badan yang sehat bugar. Mungkin rahasianya adalah cahaya matahari ditambah
dengan olah fisik.
Ayah saya juga tidak
ketinggalan menjadi bagian masyarakat yang ikut menanam palawija. Sering kali
pilihannya jatuh pada tanaman semangka, mungkin nilai ekonomisnya dibandingkan
tanaman yang lain adalah yang paling tinggi. Karena itu juga barangkali orang
yang menanam semangka akan memperlakukannya dengan amat istimewa. Apabila tanaman
ini telah tiba masanya berbuah dan mendekati musim panen, para petani akan
meninggalkan rumahnya, istrinya, dan anak-anaknya untuk menunggui tanaman
mereka agar tidak hilang dicuri atau dimakan hewan pengerat. Biasanya saya
turut serta dalam beberapa episode petualangan malam hari dalam menunggui emas
hijau kami, khususnya di malam minggu.
Kami biasanya akan mendirikan tenda/
gubuk dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat yang senyaman mungkin. Kami
mempersiapkan perlengkapan penyusunnya seperti bambu, atap jerami, kasur
jerami, tikar, bantal, hingga lampu petromak. Terkadang kami juga harus menggali
tanah sedikit lebih rendah agar dapat terhindar dari angin malam yang dingin
yang menusuk tulang-tulang. Untuk memudahkan dalam pengawasan, gubuk kami biasanya
diposisikan menghadap tanaman. Para istri hanya sesekali ikut ke sawah, biasanya
tugas mereka mempersiapkan bekal untuk suami dan anaknya dalam sebuah rantang (nasi,
lauk, dan gorengan, sedangkan minuman akan ditempatkan di termos atau ceret
(teko minuman kopi/ teh). Pembagian yang adil, sesuai dengan kodrat
masing-masing. Bagi kami, apapun makanan yang disajikan oleh mamah, asal
dinikmati di antara hamparan sawah akan memiliki sensasi yang berbeda, selalu
enak. Anda bisa membayangkan itu, belum lagi ditambah semerbak aroma rerumputan
yang khas dan sungguh wangi. Satu bulan lamanya kami dalam kondisi ini atau
terkadang bisa lebih lama tergantung kondisi tanaman.
Di malam hari, hembusan udara
musim kemarau di tengah sawah itu seperti alunan mantra para penyihir. Berderit
kencang dan menyusup diantara celah-celah atap jerami hingga menimbulkan suara
yang terkesan seram bagi anak-anak seperti saya. Para orang tua biasanya akan
menyalakan lampu petromak dan berkumpul dengan sesama penunggu tanaman sekedar
mengobrol atau bermain catur. Kadang obrolannya tidak jauh dari hal-hal yang
berbau mistis, pencurian, atau hewan pengerat/ ular. Saat itu kami tidak
tertarik dengan isi berita, mungkin karena stasiub TV di tempat kami terbatas. Obrolan
yang tidak sesuai dengan umur kami membuat saya lebih memilih berkumpul dengan
anak-anak yang seusia yang ikut menginap di gubuk. Mungkin saat itu kami
menghindar agar tidak mengalami mimpi buruk nantinya (haha). Berbeda dengan
orang dewasa, obrolan kami lebih banyak untuk membicarakan jangkrik yang kami
miliki, kadang kami mengadunya, dan akhirnya memutuskan berburu jangrik di
luaran yang terdengar sedang berbunyi nyaring. Untuk anda ketahui, jangkrik
sawah dengan jangkrik yang dijual untuk makanan burung itu sedikit berbeda.
Jangkrik sawah warnanya lebih legam, kuat, dan badannya besar-besar.
Jangkrik itu biasanya bersarang di bawah
tumpukan jerami/ rumput kering dan beberapa diantaranya bersembunyi di antara
celah-celah retakan tanah. Bunyi jangkrik dapat terdengar hingga beratus-ratus
meter, dan bunyi kecil yang kami timbulkan akan dengan mudah menghentikan bunyi
itu hingga kami kesulitan melacaknya. Tidak mudah untuk menemukannya karena
mereka adalah binatang yang sensitif. Kami harus berdiam diri mematung sejenak hingga
jangkrik mau bersuara kembali, lalu kami mulai mengintai secara perlahan hingga
kami yakin akan keberadaannya. Kami akan sangat hati-hati dalam membuka
tumpukan jerami, begitu jangkrik nampak di hadapan kami, kami harus segera
menangkapnya. Bila terlambat, kaki belakang jangkrik yang kuat dapat membuat
kami pulang dengan tangan kosong. Terkadang, karena konsentrasi semacam ini dan
mencari jangkrik dari satu lokasi ke lokasi yang lain tanpa kami sadari kami telah
berjalan berkilo-kilo jauhnya dari tenda. Saat itu desa kami masih minim
penerangan jalan, pun di tengah-tengah sawah kami tidak bisa membedakan mana
gubuk/ desa kami mana desa tetangga. Kami membutuhkan waktu dan usaha yang lebih
banyak untuk menganalisanya. Untungnya kami berkelompok sehingga satu sama lain
bisa saling menjaga.
Kegiatan lain yang tak kalah
serunya di malam hari adalah menikmati langit dengan berjuta bintang. Untuk
melengkapinya, biasanya kami akan membakar jagung atau singkong atau ubi jalar.
Kadang kami meminta, tapi tak jarang kami mencuri di ladang tetangga (pengakuan
dosa anak-anak). Tentu langit di desa dengan langit di kota akan berbeda, di
sana kelihatannya amat dekat dan kami tidak kesulitan menemukan bintang yang
bergerak seperti meteor jatuh. Teramat sangat banyak untuk dinikmati dan
menjadikan suasana hati menjadi begitu tenang. Sayangnya kami bukan pelaut,
bintang bagi kami sekedar hiasan indah dan tak ada ilmu yang kami pelajari
secara khusus berkenaan dengan hal itu. Langit cerah, perapian yang hangat, dan
makanan menjadikan kebersamaan kami begitu ceria.
Waktu berlalu dengan cepat, dan
bila tiba masanya memanen semangka, orang tua kami akan mengawalinya dngan membuat
selamatan dan mengundang tetangga gubuk lain untuk berdoa dan bersantap ria.
Segala ubo rampe* disajikan menurut tujuan diadakannya selamatan. Sebuah tradisi
kearifan lokal yang saya rindukan karena mengandung nilai luhur ajaran moral. Esoknya,
kami akan kegirangan karena kami bebas memilih semangka terbaik dan terbesar
menurut selera kami sebagai anak-anak. Semangka kami beratnya mencapai belasan
kilo, besar dan teramat manis. Warna dasar yang merah dan aroma yang segar membuat
kami tak pernah kenyang untuk menikmatinya. Kami pun tak memerlukan pisau,
cukup dikeprek dengan tangan atau diadu dengan tanah sawah yang keras hingga
terbelah. Cara yang sederhana untuk menikmatinya bersama kawan-kawan, tetapi
itulah yang selalu kami lakukan. Kami bersuka cita, memetik buah den
menikmatinya.
Kami tidak pernah tahu berapa
nilai uang hasil panen orang tua kami (mungkin juga lupa), tapi yang kami tahu adalah
berkah selanjutnya akan membuat kami memiliki barang baru seperti sepeda, jam
tangan, atau hal lain yang indah-indah. Sebentuk kasih, ungkapan syukur dan
tanggung jawab moral sebagai orang tua. Desa, dengan aneka tradisinya masih
menjadi magnet bagi saya untuk bernostalgia dan mengingatkan dari mana saya
berasal. Keramahan penduduknya dan kebersamaan yang kami bangun telah menginspirasi
saya atau beberapa di antara kami untuk berjuang mencapai derajat pendidikan
yang tertinggi, lalu pulang dan berbagi dengan adik-adik di sana “sharing
knowledge”. Bukankah tujuan akhir dari bahagia adalah perasaan “cukup” atas apa
yang kita miliki, tak perlu berlebih.
*Ubo rampe: aneka makanan/ jajanan sebagai pelengkap acara selamatan yang mengandung filosofi tertentu.
*Ubo rampe: aneka makanan/ jajanan sebagai pelengkap acara selamatan yang mengandung filosofi tertentu.
Komentar
Posting Komentar