Kemiskinan, Pendidikan, dan Kondangan

Memperhatikan bagaimana pemerintah bergulat dengan kemiskinan penduduk kok rasanya menarik ya untuk dibahas. Sebut saja di tahun 2014, negara kita telah mampu menekan angka kemiskinan dari 24% tahun 1999 menjadi 11.3% (meskipun antara 2013 hingga 2014 kecepatannya berkurang pada kisaran 0.7%). Praktis dengan kondisi semacam itu Indonesia menjadi bagian dari 20 besar ekonomi dunia, meskipun demikian rupanya seperempat penduduknya masih rentan menjadi miskin. Terdapat 28 juta penduduk yang masih terjerat kemiskinan dan 68 juta hidup tidak jauh dari batas Rp. 11.000. Bayangkan dengan sedikit ramuan bencana, kemarau dan bulan puasa, mereka bisa dalam sekejap kembali menjadi miskin. (Itu jaman pak Beye, sekarang entahlah saya enggan berkomentar, tapi konon kabarnya Dollar sudah menembus angka Rp. 13.000 loh).

Dalam beberapa kesempatan melalui forum-forum diskusi, saya tergelitik untuk melihat sisi lain geliat perekonomian masyarakat pedesaan. Masyarakat kita sebagian besar adalah petani, profesi yang menggantungkan perekonomian keluarga pada musim (alam) untuk bercocok tanam dan berkebun. Alhasil, setiap musim panen tiba hasil pertanian masyarakat melimpah, tersedia dari kebutuhan pokok hingga rempah-rempah. Meskipun demikian, hasil panen tidak serta merta mampu mencukupi kebutuhan mereka. Dari harga panen yang ditawar murah oleh tengkulak karena jumlah barang yang melimpah (hukum ekonomi) hingga kebiasaan pada tiap panen raya berupa syukuran (syukuran menikahkan anak, khitan, hingga acara keagamaan/ budaya).

Pada tiap acara syukuran/ resepsi (kondangan: Jawa), masyarakat akan mengundang kerabat, besan, anak besan, mertua dari anak-anaknya, hingga anak-anak dari mertua anaknya, tetangga dekat hingga tetangga jauh (nah pusing kan?). Kita tidak akan mungkin akan lepas dari lingkaran itu bila hidup di pedesaan dan orang tua anda merupakan warga asli daerah tersebut. Itulah warisan budaya hasil percampuran budaya Jawa, Islam dan Hindu-Budha, yang terwujud dalam suatu kegiatan doa-doa dan makan-makan. “Kondangan merupakan ekspresi rasa syukur atas nikmat dari Tuhan”.

Bila masyarakat perkotaan lebih sederhana dalam menghadiri undangan resepsi dengan cukup hanya membawa amplop, maka lain halnya dengan masyarakat pedesaan. Pada masyarakat pedesaan, di dalam acara syukuran tersebut terdapat istilah rikuh-pekewuh di mana tidak mungkin mereka datang tanpa membawa sesuatu (bawaan). Kaum pria biasanya akan menyiapkan sejumlah uang dalam sebuah amplop, sedangkan kaum wanita akan menyiapkan kebutuhan dasar seperti minimal 2 kilo gram beras (di pedesaan masyarakat lebih familiar menggunakan ukuran Gram daripada ukuran Liter), sayur-sayur dan kebutuhan dapur lainnya. Ini standar untuk menghadiri resepsi tetangga jauh, bagaimana bila yang mengadakan resepsi itu adalah keluarga atau tetangga dekat?. Mereka akan menyiapkan gerobak untuk diisi hasil bumi seperti kelapa, sayuran, beras, dan kebutuhan lain yang jumlahnya jauh lebih besar daripada bila menghadiri resepsi ke tempat tetangga jauh.

Dalam kurun waktu musim panen/ musim hajatan tersebut, karena mereka menjadi bagian dari masyarakat yang besar mereka biasanya akan mendapatkan lebih dari 10 undangan. Jenis undangannya pun beragam, dari mengirimkan nasi dan lauk-pauk, mie instan, the/ kopi dan gula, hingga kertas undangan. Terbayang kan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap menghadiri resepsi, sementara panen waktunya 3-4 bulan sekali. Itu pun belum dikurangi untuk biaya makan selama menunggu musim panen berikutnya, biaya pendidikan anak, kesehatan, dan kebutuhan tidak menentu. Kadang diperparah dengan membeli sebuah barang bukan kebutuhan pokok dan menjualnya kembali saat membutuhkan uang dengan harga yang lebih rendah.

Nah dengan kebiasaan semacam itu, bagaimana mereka bisa menabung/ menyisihkan sebagian uangnya untuk masa depan keluarga, misalnya pendidikan anak-anak?.

Agaknya bagi sebagian masyarakat pedesaan atau barangkali sebagian besar masyarakat Indonesia, pendidikan yang tinggi bukanlah hal yang fardu ‘ain untuk diraih oleh anak-anak mereka. Namun saya juga tidak bisa menggeneralisasi bahwa ini adalah bentuk kemalasan berusaha melainkan akibat pola pikir masyarakat yang belum teredukasi dengan baik. Umumnya, mereka akan membiayai anak-anak mereka untuk bersekolah hingga jenjang SMA. Beberapa diantaranya bahkan mencukupkan sekolah pada jenjang SMP dengan asumsi bahwa level pendidikan tersebut sudah cukup untuk mencari pekerjaan di kota. Alasannya sederhana, ketiadaan biaya yang menjadi faktor utamanya. Pada titik ini, nampaknya alokasi biaya untuk pendidikan anak lebih kecil bila dibandingkan dengan alokasi untuk menghadiri resepsi (berpikir logis).

Dengan tingkatan pendidikan seperti itu tentu akan menyulitkan seseorang untuk memperbaiki kualitas perekonomian keluarga, apalagi pekerjaan yang ditawarkan lebih banyak pada sektor non formal dan pekerjaan kelas rendah. Ditambah minimnya pemahaman akan jenjang karir, mereka pada umumnya akan memilih menikah di usia muda tanpa persiapan yang memadai dan mengulang rantai kehidupan pedesaan dengan kembali ke kampung halaman membesarkan anak dan meneruskan pertanian keluarga, sebagian yang lain mampu melanjutkan hidup di perkotaan dengan nasib yang sedikit lebih beruntung.

Meskipun demikian, saya kok tidak menemukan korelasi antara keterpurukan ekonomi Indonesia dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan ya?. Barangkali yang terkena imbas paling kentara adalah masyarakat perkotaan yang kebutuhan hidupnya ditopang dengan tolok ukur Dollar. Kentang impor, bawang impor, minyak goreng impor, Ipad yang diimpor, Samsung seri XXX yang juga diimpor. Entahlah, tetapi yang saya lihat perekonomian masyarakat pedesaan cukup stabil (menjadi kaya juga nggak, miskin ya gak juga). Buktinya sepuluh tahun sudah berlalu tapi tidak ada yang berubah (sampling warna Nusawaru, haha).

Hal yang menurut saya perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat pedesaan lebih peduli pada pendidikan anak ketimbang kondangan. Meyakinkan mereka bahwa pendidikan bisa mengentaskan kemiskinan, atau mengajarkan mereka dari berperilaku konsumtif ke perilaku kreatif membuka kesempatan kerja dengan membangun UKM & koperasi-koperasi unit desa yang belakangan ini sudah jarang digalakkan.


Uraian ini hanya mengambil contoh perilaku kondangan VS pendidikan masyarakat pedesaan. Memang masih banyak contoh lain yang berkorelasi terhadap stagnansi perekonomian masyarakat pedesaan, barangkali pembaca yang budiman memiliki contoh lain yang dapat dianalisis bersama? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

HEBOH : SULIT TIDUR