Dont Sweat The Small Stuff (Versi Penulis)

Hari ini benar-benar menjadi sebuah pembelajaran yang apik, bermula dari rutinitas pagi yang harus saya lakukan (berangkat kerja). Saat itu saya telah bersiap-siap menuju kantor dengan seragam kerja, tas, sepatu dan tatanan rambut yang khas. Sejurus kemudian saya berusaha mengeluarkan sepeda motor, semenjak Accu motor telah sampai pada batas usianya, parameter saya untuk memahami kondisinya hanyalah suara yang dikeluarkan dan kodisi yang nampak secara kasat mata. Speedometer dan petunjuk lainnya lambat laun ikut tidak aktif hingga menyisakkan panel sen saja yang berfungsi. Tombol “start” pun tak efektif lagi, entah sejak kapan, terpaksa kaki harus menjegal kick starter beberapa kali untuk menghidupkan sepeda motor. Suara mesin pun menderu, kelengkapan diri sudah melekat dan saatnya perjalanan menuju kantor yang tak lebih dari 15 menit sekali perjalanan.

Pagi itu matahari masih sungkan menampakkan diri, bersembunyi di balik awan kelabu yang beberapa hari belakangan menyelimuti Jakarta. Hawanya menjadi sejuk, ah andai saja setiap hari seperti ini barangkali penduduk Jakarta akan lebih bahagia (atau malah khawatir banjir). Motor pun melaju, menyusuri jalanan pagi hari yang ramai dengan hiruk pikuk masyarakat. Saya pun berkompromi dengan metromini, angkutan umum yang nampaknya sedikit tak ramah pada pengendara lainnya.  Belum lagi ditambah dengan banyaknya pejalan kaki yang menyeberang jalan tidak pada tempatnya, agaknya garis berjejer yang melintang di beberapa ruas jalan hanyalah hiasan semata, mungkin.

Kendaraan terus melaju menembus beragam kerumunan hingga ketika sampailah dipojokkan area PRJ (Pekan Raya Jakarta) saya mendapati laju motor yang tidak berirama dan sedikit menyentak. Gas di tangan pun sudah saya putar namun jua tidak ada respon. Tanpa adanya indikator pada speedometer jelas saya sekedar menerka-nerka, tetapi terkaan ini nampaknya mengarah pada satu kondisi; bensin yang habis. Yap, apes saya kira pagi ini mendapati motor yang mogok. Belumlah lengkap penderitaan tanpa diberikan sedikit penekanan; ban motor bocor. Itu adalah kombinasi yang amat rumit, mirip gelala DBD dan Thypus yang akhir-akhir ini juga sebelas dua belas karena gejalanya mirip atau gejala satu mempengaruhi gejala lainnya.

Mendorong motor menjadi satu-satunya pilihan, perjalan yang biasa ditempuh 10 menit agaknya akan molor beberapa puluh menit. Padahal biasanya saya menggerutu di dalam hati ketika melihat orang yang menuntun motor karena kehabisan bensin. Bagi saya motor itu seperti diri kita sendiri, bagaimana mungkin bila kita mengetahui bensin yang menipis tetapi tetap dipaksakan untuk melaju dengan terengah-engah. Tak elok lah buat kondisi tangki bila dibiarkan kosong, bisa karatan (katanya). Untung lah (khas suku Jawa), saya memakai helm model full face sehingga rasa malu bisa tertutupi oleh helm hehehe. Malu karena karma, yang selama ini mengolok orang dan kini seharusnya saya mengolok diri sendiri.

Mendapatkan penjual bensin eceran tentu bukan perkara mudah karena itu adalah jalan raya. Satu-satunya solusi adalah menyusuri jalan dan menerima dengan lapang ketika plang informasi menunjukkan SPBU satu-satunya di sepanjang jalan itu ada di ujung dengan jarak sekitar 800 meter. Jarak yang panjang bila harus berjalan kaki dan menuntun sepeda motor. Tak ayal keringat pun bercucuran, menetes dari ujung pelipis hingga dada. Olah raga yang kurang diharapkan karena tidak tepat waktunya.

Setelah beberapa meter menuntun sepeda motor, di sebuah halte pemberhentian angkutan saya di sapa oleh seseorang yang nampaknya menjual jasa tambal ban. Uniknya ia penambal ban mobile, menggunakan pompa manual, bukan kompressor seperti pada umumnya. Syukurlan satu masalah bisa diselesaikan. Saya pun bisa beristirahat barang 10 menit melepas lelah. Rupanya paku menancap di ban sepeda motor, wajar saja bocornya tanpa permisi dan tiba-tiba. Selang beberapa saat, penambalan ban selesai juga. Transaksi diselesaikan dan saya melanjutkan perjalanan. Barangkali penambal ban merasa heran, bannya sudah beres kok masih dituntun. Ah, biarlah rahasia kecil itu saya simpan seorang diri, malu rasanya mau bercerita.

Menuju SPBU nampaknya masih beberapa ratus meter lagi dan menyisakkan rasa pegal yang lumayan. Tak berapa lama tiba-tiba ada seorang paruh baya menanyakan apakah motor saya kehabisan bensin. Saya mengangguk, lalu ia menawarkan bantuan untuk mendorong dari belakang. Alhamdulillah, ada orang yang memiliki jiwa altruis juga. Jarak yang panjang bila berjalan kaki dapat terlewati hanya beberapa detik dengan berkendara. Akhirnya sampailah pada SPBU yang dituju dan orang tersebut melanjutkan perjalanan, saya mengucapkan terimakasih yang teramat tulus. Sebuah kado manis biarpun kecil tetapi teramat saya butuhkan.

Lesson learn:
Berhentilah menyalahkan keadaan dan lakukanlah yang terbaik. Hanya karena kita bisa mengkeritik orang lain bukan berarti kita sempurna. Ada kalanya kita akan mendapat ujuian pada titik terendah, oleh karenanya dengan mengingat bahwa balance life teramat penting, memudahkan kita menjalani hidup yang penuh kebahagiaan.


~ don’t sweat the small stuff ~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

HEBOH : SULIT TIDUR