Kamu Bagian dari Masyarakat Aristokrat apa Egaliter Tri?
Teringat dengan percakapan salah satu keluarga yang saat itu sedang mendiskusikan tentang korelasi pendidikan dan manajemen karir. Pendidikan, menurutnya, adalah media yang digunakan untuk mencapai cita-cita dasar. Misalkan saja gelar sarjana, diploma atau SMA sekalipun. Setelahnya, bekerja dan segera pikirkan untuk menikah. Perkara melanjutkan pendidikan, banda (harta), dan kecukupan lainnya biar terealisasi kemudian, atau bahkan menurutnya semua Tuhan yang mengatur (nerimo ing pandum). Lebih jauh, kerangka berpikir tentang manajemen karir tak ubahnya seperti tolak ukur yang telah monoton dan penuh kepastian; PNS. Ini barangkali representasi pemikiran masyarakat pedesaan/ pinggiran kota dengan sedikit kesempatan untuk menilik sejauh mana pendidikan dapat memberikan kesempatan dengan mengantarkan karir seseorang pada tataran tertentu. Menurutnya, PNS adalah gambaran ideal seorang pamong dengan balutan seragam dan penghormatan yang diperoleh dari masyarakat. Sapaan akrab seperti “sugeng enjing pak mantri .. pak guru, bu … nampaknya sudah menjadi budaya yang turun menurun diwariskan, yang menjelaskan bahwa kelas sosial seseorang tersebut lebih tinggi dari yang lainnya (gerak masyarakat feodal).
Feodalisme, dalam perkembangan pengertianya, meluas menjadi suatu sistem peternalistik kebangsawanan. Ada wong gede, para bangsawan, priyayi-ambtenaar, ada wong cilik alias rakyat jelata. Dalam struktur feudal karaton, pada abdi dalem mempasrahkan hidupnya untuk mengabdi para bangsawan, raja, serta kerabat keraton. Dalam logika kaum feudal, berlaku rumus sopo siro, sopo ingsun. Siapa Anda, kok berani-beraninya menghina bangsawan, kira-kira begitu maknanya. Atau, Anda ini kan cuma batur, pembantu, kok berani melawan tuan. Kalau Anda marah begitu sama pembantu Anda di rumah, berarti mentalitas feudal sudah menjangkiti Anda.
Sementara sebagian masyarakat masih berkutat dengan pembahasan di atas, sebagian lain khususnya di wilayah perkotaan (baik itu pendatang maupun penduduk asli) perlahan mulai meninggalkan budaya aristrokrat atau lebih tepatnya kita sebut masyarakat Egaliter. Sistem egaliter dibentuk oleh masyarakat dagang yang berdimika cepat. Kecepatan dunia perdagangan membuat manusia dari berbagi latar belakang harus berinteraksi dengan intens agar tercapai tujuan mereka masing-masing. Hal ini mejadikan batas-batas sosial menjadi tersamar dan manusia mitra sejajar dengan manusia lainnya. Hasilnya, masyarakat egaliter menjadi lebih terbuka dan akrab. Persaingan dan adaptasilah yang menentukan seseorang dapat bertahan hidup (survive) dan mengembangkan dirinya. Perkotaan menawarkan kesempatan yang luas bagi kemajuan individu serta memberikan jaminan bahwa ruang perpindahan kasta terjadi secara dinamis. Gambaran semacam ini barangkali lebih tepat bila dirangkum dengan sebuah istilah, yaitu mobilitas sosial. Sebuah gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya (Paul B. Horton).
Lalu, pembahasan selanjutnya terkesan mandek (berhenti di tempat). Sebuah penilaian oleh masyarakat feodal/neo feodal terhadap perubahan pola pikir/hidup masyarakat egaliter acapkali menempatkan perubahan itu sendiri sebagai sebuah ancaman dan ilegal. Bagaimana pembahasannya? Kita akan ulas pada tema selanjutnya; Warisan Sentralisme Hindia Belanda dalam bentuk negara birokrasi.
Komentar
Posting Komentar