Forum Leuven; Forum Diskusi Sejarah Bangsa
Nani Nurrachman-Sutojo
Maria Hartiningsih
Kompas Minggu, 14 Maret 2004. PERSONA
“LEGA rasanya…,” demikian komentar Nani Indraratnawati Nurrachman-Soetojo, ketika akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan, Pasal 60 huruf (g) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan tidak berlaku. Artinya, anggota eks Partai Komunis Indonesia boleh menjadi calon anggota legislatif, meskipun karena keputusan ini tidak berlaku mundur, pasal itu baru berlaku untuk pemilu tahun 2009.”
SAYA bersyukur karena mereka mendapatkan kembali hak sebagai warga negara setelah begitu lama diperlakukan secara tidak adil,” lanjut Nani dengan nada riang dan ringan, ketika ditemui suatu pagi, di rumahnya, di Jakarta.
Seandainya Nani tak punya hubungan apa pun dengan peristiwa G30S, komentar itu bisa ditanggapi sebagai hal biasa. Nani, yang di kalangan akademisi dikenal sebagai Dr Nani Nurrachman (53), seorang psikolog, adalah putri Mayor Jenderal (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira yang tewas pada subuh tanggal I Oktober tahun 1965.
Peristiwa itu menandai tragedi G30S, yang merupakan sejarah yang gelap dari perjalanan bangsa ini, karena kemudian terjadi peristiwa pembunuhan di dalam masyarakat terhadap mereka yang dituduh sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan jumlah korban yang diperkirakan berkisar antara 500.000 sampai 3 juta orang.
Ibu dari Indra (28) dan Nano (26) ini adalah tokoh yang tiga tahun terakhir ini tak kenal lelah menawarkan rekonsiliasi dari sisi psikologi bagi seluruh korban kekerasan politik, khususnya yang terkait dengan peristiwa G30S. Bersama beberapa teman ia membentuk kelompok yang memberikan perhatian pada masalah rekonsiliasi di tingkat individual dan sosial.
Kegiatan itu kemudian membawa Nani banyak berhubungan dengan anak-anak dan keluarga korban yang berkaitan dengan peristiwa G30S, khususnya dengan kelompok yang dedifinisikan sebagai “pihak yang kalah”. Hubungan itu tidak bersifat permukaan, tetapi menyasar kepada yang substansial dalam hubungan antarmanusia yang selama berpuluh tahun dipisahkan oleh identitas-identitas politik warisan.
Ini tentu bukan hal yang mudah, karena selama lebih dari 30 tahun perbedaan antara mereka terus-menerus dikukuhkan dengan definisi “kawan” dan “musuh”, “pemenang” dan “pecundang”, dan lain-lain, dalam posisi biner, sehingga tidak mungkin dipertemukan.
Tak banyak yang melihat gerak perlahan dari upaya ini. Sampai suatu hari, pada tanggal 19 November 2003, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dikejutkan oleh kehadiran Nani bersama para korban peristiwa 1965, yang mendesak supaya pansus segera merekomendasikan penerbitan suatu keputusan presiden kepada Presiden RI yang berkaitan dengan rehabilitasi para korban tahun 1965.
“Kita menjadi bangsa yang kalah karena takut menatap bayangannya sendiri, dengan tidak berani menyelesaikan masalahnya,” ujar Nani.
Nani tidak tiba pada posisi itu dalam sesaat. Ada pergumulan nalar dan rasa selama puluhan tahun untuk memperoleh makna dari peristiwa yang telah terjadi dan dari kehidupan yang dihadapi. Berikut wawancara kami dengan Nani Nurrachman.
BAGAIMANA Anda sampai pada sikap seperti itu?
Saya melihat, kita saja yang diberi gelar pahlawan revolusi kehidupan keseharian kita tidak selalu menyenangkan. Ada sisi penderitaan yang harus kita hadapi, perasaan, pikiran, dan keseimbangan di antara keduanya. Lalu bagaimana dengan mereka yang lebih buruk keadaannya? Kita sebenarnya sama-sama berada dalam tataran yang sama, di dalam pergulatan nalar dan atas akibat tragedi itu.
(Bagi Nani, suatu tragedi adalah pergumulan nasib yang tidak dapat dimenangkan. Tragedi tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya selalu diingat, tetapi ada hikmah yang dapat ditemukan dari perspektif waktu yang tepat. “Rasa sakit dan penderitaan seseorang tidak dapat diperbandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain, tetapi hanya dapat ditemukan maknanya jika yang mengalami dapat memberi arti demikian bagi hidupnya,” tutur Nani pada berbagai perjumpaan.)
Barangkali bisa dipaparkan hal-hal yang mempengaruhi sehingga Anda sampai pada keputusan untuk menekuni rekonsiliasi dari sisi psikologi…
Waktu kami tinggal di AS tahun 1985, televisi menayangkan dampak Perang Dunia II terhadap korban, terutama orang Yahudi. Saya tersentak. Waktu mereka keluar dari kamp konsentrasi, tak ada yang memikirkan dampak psikologisnya yang mendalam. Tetapi, para psikolog dan psikiater berhasil mendeteksi dampak psikologis yang begitu besar baik secara individual maupun sosial karena jumlahnya besar.
Kemudian juga ada film Killing Field, dan munculnya istilah post-traumatic stress disorder (PTSD, gangguan stres pascatrauma), berkaitan dengan gejala yang terdeteksi pada korban Perang Dunia II dan efek Perang Vietnam. Lalu saya banyak berpikir tentang Indonesia.
(Antara tahun 1981-1985, seperti diakuinya, merupakan periode pengembangan wawasan yang relatif intens. Saat itu, ia dan keluarganya tinggal di New York, AS, untuk mengikuti tugas suaminya, diplomat Nurrachman Oerip).
Tetangga sebelah yang adalah juga pemilik rumah yang kami sewa adalah korban holocaust Perang Dunia II. Dia bisa keluar dari kamp konsentrasi, tetapi seluruh keluarganya habis. Tato nomor di lengannya mengingatkan bahwa suatu saat kita bisa saja sebagai manusia hanyalah nomor tanpa nama. Saya tersentuh…, bagaimana dia bisa bertahan dengan realitas itu dan menikmati hidupnya? Lalu saya melihat diri saya. Saya berpikir, saya harus mendapatkan sesuatu dari dia, untuk menyelesaikan apa yang “belum selesai” di dalam diri saya. Dari situ saya bisa menangkap ada suatu kekuatan di luar ketahanan fisik dan mental psikologis seseorang yang bisa membawanya keluar dari perangkap-perangkap penderitaan.
(Pada tahun 1995, ketika bersama keluarganya tinggal di Belgia, Nani menonton film yang diangkat dari kisah nyata tentang pasangan Yahudi yang sama-sama memasuki kamp tawanan Nazi dan kemudian terpisah. Ketika bertemu kembali mereka dihadapkan pada situasi sulit karena pasangan perempuan dari laki-laki itu melahirkan seorang anak setelah diperkosa oleh perwira Jerman yang sampai saat itu masih hidup. “Dari situ saya melihat persoalan yang sangat berat pada keluarga-keluarga yang terpecah belah karena menjadi korban dari suatu sistem politik,” ujar Nani.
Selanjutnya?
Ketika pulang dari AS tahun 1986, Indra yang waktu itu berumur delapan tahun menyaksikan film G30S yang diputar setiap tahun. Begitu selesai ia bertanya, “Ma, apa itu komunis? Apakah mereka yang membunuh Eyang Toyo?”
Saya katakan kepada dia, pertanyaan itu sulit dan baru bisa saya jawab pada waktunya nanti. Terus terang, sebetulnya saya tidak tahu apa jawaban apa yang harus saya berikan. Sebagai ibu, apa pun jawaban saya, pasti akan melekat dalam diri anak saya. Malam itu saya menangis. Lalu saya shalat.
Saya katakan, ini cobaan dari Tuhan. Saya tidak mau berbicara apa pun tentang PKI. Kalau saya menjelaskan yang satu, maka saya harus menjelaskan kelompok-kelompok ekstrem lainnya supaya anak-anak saya bisa hidup dengan nyaman menghadapi perubahan sosisal dalam hidupnya. Saya juga berpikir bagaimana nanti kalau anak saya, dalam perjalanannya kemudian, bertemu dengan seseorang yang menjadi sahabat, bahkan pacarnya, yang berasal dari kelompok itu? Apakah pembagian “menang-kalah” harus terus berlangsung?
Saya terngiang perkataan guru besar saya, Prof Slamet Imam Santoso, dan seketika saya sadar bahwa saya mempunyai tanggung jawab moral dalam melangsungkan kehidupan masyarakat tanpa menurunkan rasa benci dan dendam. Saya ingin ada nilai moral yang saya tanamkan dan itu bisa menjadi landasan yang bisa dikembangkan sehingga ia bisa tumbuh sebagai manusia yang punya karakter.
*
PROSES penyembuhan di dalam diri Nani bisa jadi dimulai di AS. “Secara reflektif saya memikirkan itu terus, kemudian terakumulasi,” ujarnya. Pada bulan September tahun 2000, ia diundang ke Leuven, Belgia, untuk menghadiri forum sarasehan “Mawas Diri Peristiwa September 1965″ yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Belgia.
“Saya mau hadir karena yang meminta adalah mahasiswa. Yang mereka lakukan tidak sekadar diskusi, tetapi benar-benar ingin tahu, ingin memahami peristiwa itu dari perspektif pelaku-pelakunya. Saya anggap pemikiran mereka kritis dan obyektif, tidak mengotak-ngotakkan korban sebagai yang menang dan yang kalah,” ujar Nani. Di Belgia itu ia sebenarnya ingin membuktikan, terutama kepada dirinya sendiri bahwa ia sudah benar-benar “selesai”.
Dalam sarasehan itu, Nani berhadapan langsung dengan para eks tahanan politik (tapol), anak-anak para tokoh PKI, dan para aktivis HAM. Dalam pemaparannya sebagai pembicara terakhir, Nani mengungkapkan pergumulan di dalam dirinya secara terbuka sebagai anak korban pihak yang selama ini didefinisikan sebagai “pemenang”. Topik itu di luar dugaan, sehingga seorang yang sebelumnya melemparkan pertanyaan-pertanyaan emosional, menghampirinya dan menangis tersedu-sedu, begitu Nani selesai bicara. “Pembicara lain memberi selamat,” tuturnya.
Nani yang semula tidak berpikir untuk masuk ke dalam persoalan rekonsiliasi secara lebih mendalam, mendapati Leuven menjadi semacam “titik balik” untuk membuka pintu diri bagi kemungkinan memulai proses rekonsiliasi.
“Kalau orang berbicara tentang rekonsiliasi dengan keadaan Indonesia, analisis saya, rekonsiliasi harus dengan pendekatan psikologis, bukan hanya legalistis dan politis,” ujarnya, mengenai serangkaian seminar mengenai rekonsiliasi setelah itu.
Anda melihat diri Anda sebagai apa sekarang?
Tidak sebagai korban, tidak juga sebagai pemenang. Saya melihat diri saya sebagai Nani. Sebagai warga negara yang prihatin melihat situasi yang terpecah belah seperti saat ini. Memang dalam hal ini saya tak bisa melepaskan diri dari siapa saya, pengalaman masa lalu saya. Tetapi ada pengalaman profesional saya sebagai psikolog, dan semua itu terpadu membentuk saya yang sekarang.
Apa dampak psikologi orang yang terus memainkan perannya sebagai korban?
Mereka sulit keluar dari kondisi mereka sebagai korban, tak bisa melanjutkan kehidupan secara tenang, sehat (secara psikologis) dan damai dengan sesama, sulit memaafkan dan berempati. Tetapi, saya bisa memahaminya karena mereka masih terus distigmatisasi.
Semua itu terjadi karena PTSD-nya tak pernah diselesaikan. Karena itu tidak bisa digeneralisasi karena situasi trauma dan ketahanan setiap orang berbeda-beda. Di AS masalah PTSD ini juga tidak tertangani dengan baik. Veteran Perang Vietnam masih juga meninggalkan bekas-bekasnya. Saya kira, endurance dan survival tergantung lebih secara individual.
Apa syarat rekonsiliasi pada tingkat individu?
Kepercayaan. Kepercayaan sosial, karena trauma berarti hancurnya kepercayaan. Tahap berikut dari rekonsiliasi akan selalu melibatkan orang lain, karena itu kepercayaan pada orang lain sangat penting.
Bagaimana Anda berdialog dengan keluarga para Pahlwan Revolusi lainnya untuk menawarkan rekonsiliasi ini?
Setiap keluarga memiliki pengalamannya sendiri-sendiri. Di dalam keluarga setiap individunya memiliki pengalamannya sendiri-sendiri juga. Tingkat penerimaannya juga lain-lain, tidak bisa digeneralisasi. Kami bersama-sama menulis buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, untuk mengungkapkan apa yang kami alami di rumah. Saya melihat itu sebagai proses yang teurapetik, proses penyembuhan kami. Kami saling tahu apa yang kami rasakan. Di situ saya baru tahu ada berapa ratus peluru yang ditembakkan di rumah Pak Panjaitan.
Bagaimana proses pada tingkat lokal dengan jenis konflik yang menimbulkan trauma dan ideologinya tak hanya politik,tetapi juga agama dan etnis?
Menurut saya ada dua macam proses healing. Di tingkat nasional dan lokal. Di tingkat lokal, kita tidak boleh mengabaikan sejarah, perkembangan, dan dinamika masyarakat lokal. Ada kearifan lokal di sana. Tetapi, di tingkat nasional, saya melihat kita cenderung menyelesaikan konflik dengan pendekatan militer dan politik
Menurut saya, kita tidak terbiasa mendialogkan perbedaan-perbedaan kita. Padahal Indonesia ini multikultural dan masyarakatnya pluralistik. Ini memerlukan kepekaan dan kemampuan melihat sesuatu dalam berbagai perspektif terutama dari kelompok-kelompok, dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita memerlukan ketrampilan komunikasi sosial. Itu yang tidak disadari dan tidak dengan sengaja diaplikasikan untuk kepentingan menjadi Indonesia.
Saya merasa bahasa Indonesia kurang dipelihara sebagai bahasa nasional. Saya juga melihat kita kurang memakai bahasa pada aturan yang seharusnya. Banyak kekacauan semantik. Tidak ada logika bahasa, sehingga terjadi the logic of force bukan the force of logic.
Artinya?
Siapa yang kuat, siapa yang mendominasi wacana, adalah pemegang dominasi atas kekuasaan. Lewat pendidikan seharusnya kita bisa mengasah kemampuan berbahasa sehingga kita bisa menyusun bahasa yang modern, logis, dan tidak melompat-lompat pada satu kesimpulan tanda apa penalaran atau koherensi yang sampai pada kesimpulan itu.
Barangkali karena itu kita tidak mampu membuat penalaran?
Bukan tidak mampu, tetapi tidak terlatih. Kalau kita tidak bisa merumuskan masalah secara tepat, kita bisa mengambil kesimpulan yang salah dan kacau. Tindakan yang dilakukan kemudian juga keliru. Lalu ada kecenderungan menggunakan pendekatan dengan kekerasan karena ingin menyelesaikan masalah secara instan, kurang memperhitungkan biaya sosialnya, bahwa ini adalah masalah manusia dan kemanusiaan. Kalaupun kita menggunakan pendekatan hukum, maka ini menyangkut keadilan dan rasa keadilan. Kalau menggunakan pendekatan politik, harusnya dicari jalan untuk mencapai win-win solution.
NANI dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ia adalah adik dari Letjen (Purn) Agus Wijoyo, Ketua DPR/MPR fraksi TNI/Polri. Waktu kecil ia ingin jadi dokter, lalu ingin jadi ahli hukum, sebelum terpikat oleh psikologi.
Nani menjalani beberapa tahun dari masa kecilnya di luar negeri, ketika ayahnya bertugas di London sebagai Atase Militer. Ia mengaku hubungannya lebih dekat dengan ayahnya. Itu pula yang membuatnya sangat terluka ketika tragedi itu menimpa ayahnya.
“Waktu itu rumah ini sedang direnovasi, dan saya mengungsi di rumah Tante di Jalan Raden Saleh,” kenang Nani. Setiap minggu ia biasanya pulang ke rumahnya. Tetapi, suatu ketika ia tidak mau pulang sebagai protes kepada sang ayah. Ia protes karena dituduh menggunakan mesin tik dan tidak menutupnya kembali, waktu ia pulang ke rumah, sesuatu yang ia merasa tidak melakukan. Seminggu terakhir ia bahkan tidak menelepon sebagai tanda protes. Menyadari kemarahan putrinya, sang ayah lalu menjenguknya. Maksudnya mau rekonsiliasi. Tetapi, Nani masih belum bisa menerima.
Entah mengapa, hari Kamis tanggal 30 September 1965 itu ia memutuskan pulang. Rupanya ia kangen dan ingin menemui ayahnya, tetapi tidak bertemu karena sang ayah masih di Bandung. Sambil menunggu ayahnya, ia tidur siang. Saat bangun sore harinya, ia bertemu sang ayah, tetapi cuma sebentar karena ayahnya akan pergi untuk rapat raksasa di Senayan. “Ayah cuma bilang, ‘Sudah ya Nan, Papap pergi dulu’. Itu ucapannya yang terakhir,” kenang Nani.
Keluarga Anda diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Soeharto?
Ya… meskipun saya merasa menjadi seperti etalase, karena kami diundang ke mana-mana dan di mana-mana diperkenalkan sebagai keluarga pahlawan revolusi. Memang kami mendapat banyak ucapan duka cita. Rachmawati dan Guruh juga menelepon menyatakan ikut belasungkawa. Saya kelasnya sama dengan Rachma, Guruh dengan adik saya.
(Kenangan Nani akan ayahnya tidak pernah lekang di makan zaman. Ia ingat, ayahnya rajin mengikuti perkembangan anak-anaknya. Ayahnya pula yang selalu mengambil raportnya. “Saya boleh sekolah di luar negeri kalau sudah lulus universitas. Alasan sang ayah, ‘Kamu harus memahami dulu cara bangsamu berpikir.'” )
Apa lagi yang paling mengesankan dari Ayah?
Saya memahami bahwa kepangkatan dan kepahlawanan tidak diwariskan. Suatu hari, karena merasa sudah besar, saya tidak mau lagi duduk di sebelah sopir. Saya duduk di belakang. Waktu pulang, saya melihat Ayah di beranda. Waktu saya keluar mobil, ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia tanya, “Kok kamu duduk di belakang?” Lalu ia bilang, ” Kamu anak jenderal, tetapi sebagai anak jendral hanya sebagian dari identitasmu, bukan kamu yang sepenuhnya.” Saya tersentak. Peristiwa itu selalu membuat saya ingat bahwa saya tidak pernah boleh menggunakan kondisi, status orangtua, untuk saya pakai.
Bagaimana Anda melihat masa depan dengan situasi carut marut seperti ini?
Memang masih banyak persoalan. Tetapi, kalau kita terjebak secara sempit hanya bergulat dengan persoalan, saya takut ini akan menjadi self fulfilling prophecy. Kalau kita terus-terusan bilang bangsa kita bodoh, ya akan bodoh benar. Saya melihat banyak benih yang baik dalam generasi muda kita yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih percaya diri.
Kedua, peranan mass media. Kenapa kemenangan pelajar-pelajar kita di Olympiade Matematika tudak ditulis besar-besaran? Saya kira banyak hal lain yang sangat positif dan kita tidak harus merasa takut. Di dalam kelemahan kita sekarang seharusnya kita melihat kekuatan kita.
Ada ungkapan, jika Anda tidak bisa menyelesaikan masalah, ubahlah perspektif Anda terhadap masalah itu. Mungkin dengan melihatnya dari perspektif lain, kita bisa mendapatkan sesuatu. Mungkin juga jalan. Ini bukan berarti kompromi.
Pewawancara:
Ninuk Mardiana
Komentar
Posting Komentar