Akexithymia

Rujukan:
American Psychiatric Association (APA) (1974)
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition, Text
Revision, (DSM-IV-TR).
Fukunishi I, Berger D, Wogan J, Kuboki T (1999).
“Alexithymic traits as predictors of difficulties with adjustment in an
outpatient cohort of expatriates in Tokyo”. Psychological reports 85 (1): 67–77.
doi:10.2466/PR0.85.5.67-77. PMID 10575975. Retrieved 2007-08-10.
Goleman, D. (1998). Working with emotional
intelligence. New York: Bantam Books
Salminen JK, Saarijärvi S, Aärelä E, Toikka T,
Kauhanen J (1999). “Prevalence of alexithymia and its association with
sociodemographic variables in the general population of Finland”. Journal of
psychosomatic research 46 (1): 75–82.
satyadi, h. (2011), Irasionalitas peran jender,
depresi maskulin, dan alexithymia pada suami sebagai faktor risiko perilaku
kekerasan terhadap istri, Disertasi Fafultas Psikologi Universitas Indonesia,
Jakarta
Taylor GJ, Bagby, M.R., Parker, J.D.A. Disorders
of Affect Regulation: Alexithymia in Medical and Psychiatric Illness.
Cambridge: Cambridge University Press, 1999
ALEXITHYMIA
Oleh : Sarlito Wirawan Sarwono
Jakarta, 28 Januari 2012
Alexithymia adalah sebuah gangguan jiwa yang
dalam bahasa awamnya adalah “buta emosi”. Gangguan jiwa ini dikemukakan pertama
kali oleh psikoterapis Peter Stiffenos pada tahun 1973. Jadi masih relatif
baru, sehingga belum tercantum dalam DSM IV TR (buku panduan diagnostik
gangguan jiwa versi AS, 1974), maupun PPDGJ III (panduan versi Indonesia yang
merujuk pada DSM IV). Sebelumnya, Alexithymia digolongkan sebagai gangguan
kepribadian Anti-sosial, bahkan ada yang mengolongkannya sebagai Autisma,
karena gejala-gejalanya yang mirip dengan kedua gangguan kepribadian itu.
Gejala-gejala Alexithymia adalah (1) Kesulitan
untuk mengenali emosinya sendiri, (2) Kesulitan memahami emosi orang lain, (3)
Daya imajinasi yang terbatas, sangat sulit berfantasi, dan (4) Perilakunya
selalu terkait dengan kejadian di luar dirinya (stimulus bound, externally
oriented). Psikolog R.M. Bagby dan psikiater G.J. Taylor (Taylor, 1997)
menyamakan Alexithymia sebagai lawannya Emotional Intelligence (Goleman, 1998).
Perbedaan Alexithyma dari Anti-sosial (dalam
DSM III dinamakan Psikopat) dan Autisma adalah bahwa perilaku dari penderita
kedua gangguan kepribadian yang disebut terakhir ini selalu dipicu oleh
dorongan-dorongan dari dalam. Perilaku yang merugikan orang lain tanpa perasaan
bersalah pada Anti-sosial terjadi pada saat-saat tertentu, sedangkan penderita
Autisma hampir sepanjang masa tidak bisa mengontrol perilakunya sendiri. Di
sisi lain, penderita Alexithymia hanya terpicu oleh suatu kejadian di luar yang
dianggap mengganggu ego-nya. Persamaannya dengan Anti-sosial, adalah bahwa
dalam penampilannya penderita Alexithymia tidak menunjukkan masalah apapun. Dia
tampil sebagai orang yang baik, selalu bermuka manis, bicaranya teratur dan
meyakinkan (karena dia memang kuat di logika), sehingga orang tidak percaya
bahwa dia adalah seorang yang punya gangguan emosi yang berat.
Fukunishi dkk (1999) melaporkan bahwa dari
berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi Alexithymia di AS adalah
kurang dari 10%. Pria dilaporkan lebih banyak menderita gangguan itu dari pada
wanita (Salminen, 1999). Mereka ini didiagnosis dengan test Alexithymia (the
Toronto Alexithymia Scale (TAS-20), the Bermond-Vorst Alexithymia Questionnaire
(BVAQ), the Online Alexithymia Questionnaire (OAQ-G2) atau the Observer
Alexithymia Scale (OAS)), atau datang ke psikiater dengan keluhan perilaku
Anti-sosial seperti tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, tidak bisa
memahami emosi orang lain, tidak bisa memahami emosi sendiri , bingung
membedakan antara perilaku dan emosi (tahu bahwa ia memukul, tetapi tidak tahu
bahwa itu adalah marah), khayalannya hanya terbatas pada hal-hal yang
kongkrit-kongkrit saja seperti nanti siang mau makan apa, dan dimana? Tidak
bisa berfantasi tentang karir yang sukses, keluarga bahagia, atau tentang
cinta.
Karena ketidak-mampuannya untuk memahami emosi
orang lain, penderita Alexithymia menghindari hubungan interpersonal yang
intens, seperti pacaran dan perkawinan. Tetapi desakan sosial terkadang memaksa
seorang penderita Alexithymia untuk, misalnya, menikah. Padahal dalam hubungan
total seperti pernikahan, diperlukan pelibatan emosi yang total pula. Karena
tidak bisa melakukannya penderita Alexithymia hampir selalu menyelesaikan
masalahnya dengan KDRT. Penelitian di Jakarta mengungkapkan bahwa Alexithymia
adalah salah satu faktor penting dalam KDRT (Satyadi, 2011).
Kebanyakan literatur beranggapan bahwa sama
dengan gangguan Anti-sosial dan Autisme, Alexithymia juga disebabkan oleh
gangguan psiko-neurologi, jadi ada faktor fisik dan fisiologisnya dan merupakan
bawaan sejak lahir. Namun Satyadi (2011), dengan meminjam teori Psikoanalisis,
berteori bahwa gangguan Alexithymia berasal dari suatu hal yang terjadi dalam
proses psikodinamika di masa lalu penderita, yang menyebabkan egonya terlalu
lemah, jadi sensitif pada ancaman, dan membuat defense-menchanism-nya menjadi
berlebihan untuk melindungi ego-nya. KDRT terhadap isteri, dalam penelitian
Setyadi (2011) ditemukan sebagai ungkapan dari perasaan khawatir seorang pelaku
KDRT akan kehilangan pasangannya. Karena keterbatasan fantasinya, ia tidak bisa
mengungkapkan rasa cintanya kepada pasangannya selain dengan memukuli
pasangannya itu. Dia pikir kalau sudah dipukuli, pasangannya itu akan diam, dan
menurut. Sesudah itu, barulah dia meminta maaf, sampai menyembah-nyembah kaki
pasangannya dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi, tetapi nyatanya pasti
diulangi.
Di sisi lain, di pihak pacar atau isteri,
karena nampaknya cinta penderita Alexithymia itu tulus sekali, maka pacar atau
isteri itu jarang melapor ke keluarga, apalagi ke polisi (walaupun UU sekarang
membolehkan campur tangan dari warga/RT/RW dan pemerintah/Polisi pada kasus
KDRT, apalagi kalau sudah mengancam jiwa seseorang). Baru sertelah beberapa bulan,
bahkan tahun, di mana bekas-bekas KDRT sudah hilang dan tidak memungkinkan lagi
untuk dibuat visum, si isteri atau pacar itu melapor. Biasanya kalau KDFT yang
dilakukan sudah mengancam jiwa.
***
Baru-baru ini terjadi peristiwa antara dua artis
sinetron Ardina Rasti dan kekasihnya, Eza Gionino. Rasti melapor ke polisi,
berikut rekaman suara bahwa Eza sudah melakukan KDRT pada dirinya. Laporan ini
mengejutkan banyak orang karena tidak ada yang menduga bahwa Eza yang berwajah
lembut dan selalu bertutur kata manis, bisa berbuat seperti yang dituduhkan
Rasti. Eza pun langsung menyangkal, dan menyatakan peristiwa itu tidak pernah
terjadi, bahkan ia masih sangat mencintai Rasti. Ibu Eza juga tidak mau
ketinggalan dan memberikan testimoni bahwa Eza adalah anak bungsu yang baik
hati, Selalu menurut pada orangtua. Justru Rasti yang pernah mengaku kurang
kasih sayang dari ibunya, sehingga menganggap ibu Eza sebagai ibunya sendiri,
bahkan sudah membiayai ibu Eza itu untuk umroh. Untuk itu, Ibunya Eza bahkan
berani sumpah Al Qur’an.
Tetapi sumpah Al Qur’an tidak bisa menyangkal
fakta rekaman suara, yang jelas memperdengarkan suara Rasti dan Eza. Eza
membentak-bentak dan Rasti menangis ketakutan dan kesakitan. Sulit untuk
menyatakan rekaman itu rekayasa. Tetapi kalau benar begitu, mengapa baru
sesudah 6 bulan kasus ini dilaporkan? Begitulah kilah Eza.
Pertanyaan Eza sangat logis, tetapi seperti
sudah diuraikan di atas, Rasti sebagai korban KDRT masih mengharap bahwa Eza
berubah. Nyatanya Eza tidak berubah. Buat Eza hatinya lebih sakit dari sakitnya
Rasti. Apalagi hati ibunya. Sakit fisik Rasti tidak ada artinya dibandingkan
dengan sakit hati ibunya. Itulah logika Eza, dan karena tidak mampu
mengidentifikasi emosinya sendiri, Eza mengatakan lupa atau tidak tahu bahwa
dia pernah berbuat seperti itu. Pernyataam Eza sangat boleh jadi bukan bohong.
Tetapi dia memang menderita Alexithymia, sehingga ia tidak mampu menenali
emosinya sendiri, alias “Buta emosi”.
Pengembangan berita di Infotainment makin lama
makin melebar ke arah yang tidak relevan, seperti testimoni ibu, kakak dan
pengacara Eza: sumpah Al Quran, atau anak bungsu yang baik. Atau dari sisi
ibunya Rasti yang tidak terima bahwa anaknya dipukuli oleh orang lain yang sama
sekali tidak punya hak, sementara ibunya sendiri yang melahirkan Rasti dan
memberi makannya sampai besar, tidak pernah sekalipun menyakiti Rasti.
Pemberitaan itu menyesatkan, apalagi kalau
Polisi yang dilaporkan acuh-tak-acuh, karena menganggap kasus ini persoalan
intern keluarga (pacar) saja dan menunggu proses hukum yang pasti tidak
berjalan, seperti visum et repertum yang sudah sulit dilaporkan, karena
tidak adanya lagi bekas-bekas penganiayaan.
Tetapi terlepas dari pada itu semua, yang
penting bagi kaum perempuan yang punya suami/cowok yang suka main tangan,
jangan ragu-ragu melaporkannya. Pertama kepada keluarga, dan kalau perlu ke
polisi. Jangan menunggu terlalu lama, karena siapa tahu dia penderita
Alexithymia, kalau dibiarkan dia akan bertambah serius. Tidak perlu nunggu dia
akan berubah, dan tidak perlu malu. Berbagi itu lebih baik dari pada dipendam
sendiri. Kalaupun sang suami atau cowok bukan penderita Alexithymia, alias KDRT
biasa yang disebabkan oleh emosi sesaat saja, maka kesalahannya itu bisa segera
diperbaiki bersama oleh seluruh keluarga.
Komentar
Posting Komentar